Seperti biasa sebelumnya mohon maaf kalau ada kata-kata yang gak enak untuk dibaca, maaf kalo ada typo. Blog gue kali ini niatnya pengen bikin cerita yang berkelanjuttan, doa'in aja semoga pimikiran gue untuk lanjuttannya banyak, intinya begitu,
Sekarang baca aja deh -->
DENGAN jengkel Ryan menyambar bantal
dari sudut ranjang, lalu menelungkupnya rapat-rapat ke telinga. Berusaha
merendam suara bising yang membuyarkan mimpinya. Tapi rupanya bantal yang tebal
pu tak mempan merendam bunyi brangsek itu.
Apa sih yang berdering pagi-pagi begini? Mengganggu tidur saja!
Semalam Ryan sengaja mengunci rapat pintu kamarnya. Tidak mengharapkan
ada seorang pun yang mengetuk pintunya. Apalagi yang membangunkan tidurnya.
Rasanya Ryan uga tidak memasang alarm untuk membangunkannya. Hanya hari
Sabtu begini Ryan terbebas dari sekolah, yang selalu mewajibkannya mandi
pagi-pagi. Semalam Ryan juga sudah mematikan ponselnya, supaya tidak menerima
Chat atau telpon yang tidak penting. Sahabatnya yang selalu rajin memberi wake up call setiap pagi, tentu juga
tidak akan nekat membangunkan dihari libur seperti ini.
Ryan benar-benar ingin tidur sepuasnya. Weekend begini, setelah lima hari stres sekolah dan lesnya, tidak
ada kemewahan selain bangun siang!
Jadi apa yang berdering? Benar-benar tidak tahu diri! Berisik sekali!
Sesaat kemudian terdengar derit rel pita
yang berputar, dan rekaman suaranya sendiri bergema memenuhi kamar tidurnya :
Hi, it’s Ryan
Leave me a message ....
Meskipun otaknya baru menyala lima watt, tapi
perangkat memori di kepalanya masih berfungsi dengan baik. Jadi, yang baru saja
berbunyi itu mesin penjawab telponnya. Dan benda sialan yang berdering itu
pasti telpon di meja kecil di sisi tempat tidurnya!
Damn. Rupanya semalam ia lupa
mematikan ponselnya. Spontan tangan Ryan terulur ke atas bedside table. Dengan mata masih terpejam, didorongnya ponsel itu
dengan gemas sampai jatuh ke karpet, dan cassingnya
terbuka. Deringnya seketika berhenti.
Lalu semuanya menjadi hening. Begitu damai. Nyaman. Tenang. Sekarang
Ryan bisa melanjutkan mimpinya. Sampai dimana ya tadi?
Nah, sesaat kemudian suasana kembali sunyi senyap. Memang tidak ada agi
dering yang memekakkan telinga. Tapi ada suara berisik lain yang terdengar.
Dari balik pintu. Mamah membangunkan Ryan karena sudah terlalu siang.
ᴥ
Sampai putus asa Tiara mencoba menghubungi
Ryan. Tetap saja tidak di angkat. Cuma voice
mail-nya saja yang menyahut. Tapi Tiara tidak mau meninggalkan pesan di
sana. Percuma. Ryan paling malas memeriksa pesan yang masuk. Apalagi Weekend begini. Dia paling alergi
berurusan dengan sekolah dan teman-temannya diluar jam sekolah.
Tiara juga sudah menelpon ke orang tuanya.
Tetapi hanya bilang kalau Ryan belum bangun tidur. Cowok itu memang hobi
bersantai di sana sambil main games. Tetapi lima kali menelpon ke orang tuanya
dengan waktu ang berbeda-beda, lima kali pula jawabannya sama “Ryannya belum
bangun, main aja kerumah.”
Terpaksa Tiara menelpon lagi ke ponselnya.
Nah, betul kan. Terdengar suara nada sambung lagi, tetapi tidak diangkat lagi.
Nihil.
Akhirnya Tiara memutuskan untuk meninggalkan
pesan di mesin penjawab. Ketika Tiara masih mendengar rekaman suara Ryan, belum
sampai terdengar nada beep, tahu-tahu
saja sambungan terputus. Seperti sengaja dijatuhkan di seberang sana.
Dengan kesal Tiara membanting ponselnya.
Cuma ada satu cara memastikan, apa Ryan ingat dengan janjinya. Cuma ada satu
cara mencari jawaban. Tiara menyambar kunci motornya dengan tidak sabar.
ᴥ
Ryan baru saja menyelesaikan
presentasinya dengan baik di depan teman-teman sekelasnya dan di depan guru
matpel. Baju-baju yang keren dengan model zaman sekarang... dengan style yang cocok untuk para lelaki...
khusus cowok-cowok muda yang kepingin bergaya namun dengan dompet yang belum
terlalu tebal... semua orang yang hadir di ruangan itu bertepuk tangan. Gegap
gempita. Rupanya mereka menyukai style Ryan.
Ini mimpi atau kenyataan sih? Keluh Ryan
antara sadar dan tidak sadar. Fiiuuu, begini nih kalau terlalu berdedikasi
terhadap style zaman sekarang. Mimpi
pun tentang style.!
Soalnya bunyi tepukan itu makin lama makin
gaduh. Dan menurut catatan tugasnya, jadwal presentasinya bukan tentang style. Lagi pula harinya juga belum
tentu besok juga maju kedepan. Jadi applause
yang baru saja didengarnya hanyalah.... dan heiii.... mengapa bunyinya
malah seperti gedoran keras? Dan sumber suaranya bukan berasal dari ruang
kelas.. tapi dari balik pintu kamarnya...
Rasanya ia baru saja terlelap. Damn it. Mengapa hari ini ia sial
sekali? Tapi telpon menjerit tidak henti-henti. Sekarang apa lagi?
Seingatnya, Mamah dan Papah sudah berangkat
kerja. Jadi bunyi ketukan pintu itu siapa yang mengetuk? Apa mungkin Bi Imah?.
Tapi pembantu macam apa yang berani mengetuk sekeras itu? Bukan. Bukan
mengetuk. Tapi menggedor-gedor. Barangkali karena frustrasi mengetuk dengan
halus. Tapi itu tidak berarti dia punya alasan untuk seenaknya membangunkan
majikan dengan tidak sopan.!
Atau jangan-jangan Ka Rikha yang iseng? Tapi
hari ini bukannya Ka Rikha ada janji sama Ka Bimo?. Kalau belum berangkat, buat
apa Ka Rikha ngebangunin gue jam segini?.
Namun gedoran di pintunya tidak berhenti
juga, malah semakin ribut, seperti ingin mengulangi peristiwa meruntuhkan
tembok berlin saja. Sambil bersungut-sungut Ryan menyibak selimut, lalu merayap
turun dari ranjang. Masih bertelanjang dada dan hanya menggunakan celana boxer, ia terhuyung-huyung membuka pintu
kamar.
Ryan menggaruk-garuk kepalanya, membuat
rambutnya semakin kusut. Malas-malasan ia membuka pintu. Matanya yang masih
setengah terbuka seketika membelak melihat siapa yang berdiri di depannya.
Dihadapannya berdiri cewek yang tingginya sebahu Ryan. Rambutnya pirang, tergerai
sepinggang, dengan gaya rambutnya yang setengah ikal. Matanya sipit dengan bulu
mata yang lentik, selalu berbinar indah. Hidungnya mungil namun runcing.
Bibirnya tipis menggemaskan. Kulitnya yang putih langsat membuatnya selalu
terlihat cantik.
Dan tentu saja Ryan hafal luar kepala siapa
wanita ini. Apalagi pada saat tingkahnya seperti ini.
“Here
you are!” sembut Tiara sambil menerobos masuk. Wajahnya yang manis tampak
bersungut-sungut. “Kamu tahu jam berapa sekarang?”
“Good
morning, Sweatheart,” sindir Ryan cuek. “Matahari bersinar cerah pagi ini?”
“to,” dengan
jutek.
“Coffe
for you?” tanya Ryan mendului berjalan ke arah dapur. “French toast or pancake? Mau ku buatkan apa buat sarapan?”
Tidak ada jawaban. Ryan sampai berhenti
melangkah, lalu melengokkan kepala dari celah pintu dapur. Rupanya Tiara hanya
berdiri tepekur di ruang makan sambil mendekap kedua lengannya di dada.
“What’s
the problem, sweatheart?” Ryan menyeritkan alis, melihat sikap Tiara yang
aneh.
“Kamu betul-betul mau tahu apa problemnya?”
desis Tiara kesal. “Kuberi tahu ya. It’s
already noon, Sweatheart! Dan seharusnya kita sedang makan siang, bukan
sarapan!”
ᴥ
“Kenapa mesti terburu buru sih? Protes Ryan
sambil malas-malasan mengikat tali sneakers-nya.
“Sudah cukup selama lima hari belakangan ini aku banyak dikejar-kejar tugas
kelompok dan hafalan”.
“Kita sudah terlambat satu jam, Ryan!” Tiara
menunggu tidak sabar. Untung saja Ryan tidak punya hobi mandi lama-lama. Dalam
lima belas menit ia sudah keluar lagi dari kamarnya. Atau...jangan-jangan Ryan tidak
mandi? Barangkali ia hanya menyemprotkan parfum ke sekujur tubuhnya. Tapi
seperti biasa Ryan tetap terlihat tampan, apalagi dengan gel yang membasahi
rambutnya. Ia terlihat segar, bersih, menawan, dan yang penting sekarang Ryan
sudah siap pergi. Dan.. siap dipamerkan kehadapan keluarga besar.
“What
the hell..,” keluh Ryan enggan
“What
the hell, katamu?” pekik Tiara putus asa. “Seluruh keluarga besarku sudah
berkumpul di rumah.”
“Ya, itu maksudku.” Ryan mengangkat bahu
tidak peduli. “Apa lagi yang lebih menyeramkan daripada di tengah hutan
sendirian, kecuali berada di tengah-tengah oom dan tantemu?” Tentu saja kalimat
tambahan. “Berada di tengah orangtuamu.” Cuma tersangkut di lidah Ryan.
“Kali ini kamu harus akrab dan bersikap
sopan dengan mereka!” sahut Tiara merajuk. “Hitung-hitung adaptasi sebelum
mereka jadi keluarga mu beneran, heheh...” nyengir.
There
you go. Nah, betul kan. Ryan terbatuk-batuk hebat. Tentu saja ia mengerti
arah kalimat Tiara. Apalagi si maksud cewek mengenalkan pacarnya ke keluarga
besar selain ...
Buru-buru Ryan menyingkir ke garasi. Tapi
Tiara lebih segit lagi menyambar tangannya. “Sudah tidak ada waktu lagi untuk
mengambil motormu,”
“But,
Sweatheart...,” desis Ryan gusar. “Kamu kan tahu apa artinya motorku
buatku. Aku tidak mungkin pergi tanpa dia. Aku tidak akan tega meninggalkannya
sendirian...”
“Tapi tega membiarkanku? Membuatku menunggu
selama satu jam di rumah tadi? Kamu kan sudah janji akan ke rumahku!” desis
Tiara dengan mata mendelik. “Listen, Ryan.
Sebenarnya siapa sih yang menjadi cewekmu? Aku atau motormu? Dan please, berhentilah menyebutnya sebagai
‘dia’!”
Sekejap Ryan berdiri mematung. Lampu di atas
kepalanya langsung berpijar terang. Ide! Serentak ia berbalik, dan memeluk
Tiara. Mengecup heningnya dengan girang. “Thanks,
Sayang!” serunya dengan wajah berseri-seri.
Tiara mengernyitkan dahi dengan heran. “For what?.”
“You’ve
just helped me fiding out the idea for my new campaign!”
“Ooh, gimme
a braek,” desis Tiara kesal. “Apakah aku punya saingan baru sekarang?”
“Siapa?”
“Laptop
kamu! Jangan bilang kamu sedang in
the mood untuk belajar saat ini juga!”
ᴥ
Suasana sudah ramai ketika mereka sampai di
rumah Tiara. Halaman yang luas seperti tidak cukup menampung deretan mobil dan
motor yang parkir. Hiruk-pikuk terdengar dari luar. Dengung percakapan yang
riuh rendah. Gelak tawa. Denting sendok dan gelas.
Mamih Tiara tergopoh-gopoh muncul di
beranda.
“Jakarta masih macat ya hari sabtu?” sapa
Sandra dengan wajah berseri-seri, menyambut kedatangan putri kesayangannya.
“Hai, Mih.” Tiara mengecup kedua pipi
Mamihnya “Sudah datang semuanya?”
“Macet sih enggak, Tante,” sela Ryan
tersenyum. “Tapi pernah dengar kalau pergerakan waktu di Jakarta mundur satu
jam setiap hari Sabtu dan Minggu?”
“Kalau hal itu terjadi, facelift pasti tidak laku!” tergelak Sandra geli. “Tahu kan, kenapa
perempuan memusuhi waktu? Keriput tidak pernah berjalan mundur!”
Sandra menggamit lengan Tiara dan Ryan,
menggiringnya memasuki rumah. Sekilas ia berbisik ke telinga putrinya. Tidak
terlalu lirih, sehingga Ryan masih bisa menangkap kalimatnya.”It’s already noon, Sayang.” Lalu Sandra
melenggang menghampiri suaminya yang sedang asik main catur dengan kakak
iparnya.
Ryan langsung menyenggol siku Tiara.
“Rasanya aku hafal kalimat itu.”
“Like
mother like daughter,” sahut Tiara meringis.
“Jadi kamu akan segemuk Mamihmu dua puluh
tahun kemudian?” Ryan terbelak pura-pura ngeri. Tiara meninju bahu Ryan dengan
mesra.
“Dan pada saat itulah fisik masih lebih
penting daripada cinta?” rujuk Tiara manja.
Sandra kembali menghampiri bersama suaminya.
Ayah Tiara mendekati putrinya dengan lengan terkembang. Serentak Tiara
merangkul ayahnya dan mengecup kedua pipinya. Setelah itu Ryan menjabat tangan
ayahnya Tiara dengan sopan. Ayahnya Tiara membalas sambil mengangguk senang,
lalu ia kembali ke kursinya, menenggelamkan diri pada keasyikannya semula
bermain catur.
“Ayo cepat, temui tamu-tamu” sergah Sandra
sambil mendorong punggunng Ryan dan Tiara dengan lembut. “Oom dan tantemu sudah
hampir pulang.”
“Ooh, kirain disuruh cepat-cepat
menghabiskan makanan....,” sahut Ryan jahil.
Tiara menyikut rusuk Ryan
“Lihat pasangan baru itu,” desah Sandra
sambli menunjuk dengan dagunya. “Mereka baru pulang honeymoon dari Paris.”
“Mesra sekali ya,” desah Tiara iri. Ia
langsung merapat ke sisi Ryan, menyusupkan tangannya ke lengan Ryan. “Yang
cewek itu sepupuku.”
“Kalian kapan menyusul?” tanya Sandra
tangkas.
Tidak ada yang menyahut. Perhatian Ryan
masih tersita pada pasangan tadi. Tapi merasa seperti sedang ditunggu, Ryan
refleks menengok. Dan ia baru sadar, Sandra sedang menatapnya. Tentu saa
berarti pertanyaan itu ditujukkan kepadanya. Sekejap Ryan gelagapan. “Ooh,
menyusul ke Paris maksud tante?”
“Tentu saja ke pelaminan, Ryan!” sahut
Sandra gemas. Ia menyambar gelas dan sendok dari meja terdekat, lalu dengan
penuh semangat mengetuk-ngetukkan sendok itu ke badan gelas hingga menimbulkan
suara berdenting yang riuh. “Halooo... para hadirin... ini lho tamu yang kita
tunggu-tunggu. Tiara dan Ryan..... calonnya!”
Sekonyong-konyong perhatian seluruh tamu di
ruangan itu seperti tersedot ke arah Ryan. Semua kepala menengok. Puluhan
pasangan mata seperti tembakan peluru yang membidik sekujur tubuh Ryan. Dan pause. Seisi ruangan seakan berhenti
bergerak. Hanya Ryan yang menjadi satu-satuya objek yang dinilai.
Susah payah Ryan bertahan berdiri dengan stay cool tiba-tiba.... Bruk...!
Yaampun..... jadi... ini hanya Mimpi!, hahahah...
Bersambung...